Momentum peperangan 10 November di Surabaya, menjadi legimitasi perjuangan bangsa dari semua golongan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang masih seumur jagung. Mereka rela bertempur mati-matian di medan perang dan tak gentar meskipun nyawa jadi taruhan.

Bung Karno mengatakan,”bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Maka adalah suatu kewajiban bagi kita bangsa Indonesia untuk memeringati hari pahlawan. Peringatan itu bukan hanya sekedar upacara bendera ataupun berziarah ke makam pahlawan. Melainkan dengan merenungi kembali pengorbanan para gugur bunga kepada bumi pertiwi.

Jika para bangsawan telah mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, maka tugas kita sebagai generasi muda penerus bangsa adalah merealisasikan cita-cita Bangsa Indonesia. Yakni dengan mewujudkan kehidupan rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya.

Hal tersebut tentu bukan suatu hal yang mudah. Apalagi dengan kondisi bangsa kita saat ini. Tantangan kemiskinan, baik miskin materi maupun moral, hukum yang bisa diperjual belikan, tokoh pejabat yang kehilangan batas-batas normatifnya hingga dengan mudahnya melakukan tindakan KKN, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pajak, tingkat kepedulian sosial yang rendah, tradisi ikut-ikutan budaya kekinian, dan masih banyak lagi. Lalu bagaimana kita mengatasinya?

Mulailah dari diri sendiri. Intropeksi kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Kembangkan segala potensial diri. Karena sekecil apapun kemampuan kita, jika kita mau untuk mengerahkannya baik kepada oranglain maupun lingkungan pastilah akan menuai manfaatnya.

Selain itu, miliki karakter jiwa pahlawan, yakni jujur, pemberani, dan rela melakukan apapun demi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi sebagai mahasiswa, yang di pahami oleh masyarakat sebagai kaum intelektual. Hendaknya kita mampu menjadi pemuda yang bermoral yang bisa dijadikan pandangan baik oleh masyarakat.

Melihat peran mahasiswa sebagai agent of change. Sikap kritis diperlukan untuk membuat sebuah perubahan besar dan membuat para pemimpin yang tidak berkompeten menjadi gerah dan cemas.

Mahasiswa sebagai social control, ketika ada hal yang tidak beres atau ganjil dalam masyarakat. Mahasiswa sudah selayaknya memberontak terhadap kebusukan-kebusukan dalam birokrasi yang selama ini dianggap lazim.

Selain itu, mahasiswa sebagai iron stock, diharapkan memiliki kemampuan, ketrampilan, dan akhlak mulia untuk menjadi calon pemimpin siap pakai. Intinya mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, dan harapan bangsa untuk masa depan.

Maka untuk itu, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa harus benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin sehingga ketika kita sudah terjun di dalam masyarakat secara langsung kita tidak kaget dan kita memang sudah benar-benar siap ketika diminta mengisi ruang-ruang kosong yang di butuhkan masyarakat. Dan dengan begitu anggapan masyarakat bahwa mahasiswa adalah kaum intelektualpun tidak kita kecewakan atau tidak kita pudarkan kepercayaannya.


Oleh: Nifa Kurnia Fahmi
Penulis adalah Mahasiswa Aktif IAIN Tulungagung Semester Satu di Jurusan Tadris Bahasa Indonesia
Tulisan ini pernah diikut sertakan dalam kompetisi menulis kreatif dalam rangka memperingati Hari Pahlawan yang di adakan oleh Pusat Kajian Filsafat dan Teologi Tulungagung pada November 2017