Oleh: M. Rif'an Hidayat
Pikiran penulis seakan terganggu saat membaca
berbagai opini publik di media sosial (medsos) sekarang
ini. Coba kita lihat, misalnya saja isu yang baru-baru ini marak
diperbincangkan, yakni isu unjuk rasa 2 Desember 2016. Medsos dijadikan ajang
"perang propaganda dan perebutan pengaruh". Seharusnya medsos dapat
menjadi wadah untuk membangun dan memantik roda
kehidupan masyarakat justru dijadikan
tempat untuk saling menghujat, saling mengejek, dan saling mengunci. Apakah itu kepribadian bangsa kita? Apakah
itu budi pekerti yang ditanamkan kepada kita? Kiranya
tidak. Dari sinilah seakan-akan menggambarkan tentang kematian semboyan Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Secara spontan, penulis langsung meng-google
tiga kata yang berasal dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular semasa
kerajaan Majapahit masih berdiri di abad 14 itu. Hal yang menarik bagi penulis
bukanlah pengertian dari kata-katanya, tapi penulis justru tertarik ketika
melihat gambar simbol negara kita, burung Garuda dengan gagahnya mencengkram
tiga kata dari bahasa sansekerta tersebut. Garuda sebagai lambang negara,
Pancasila sebagai dasar negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan
negara, tiga elemen penting tersebut bersatu di dalam
sebuah wadah bernama persatuan dan kesatuan.
"Republik ini sekarat, ya. Mati, jangan biarkan. Kembalikan Bhineka Tunggal Ika. Kembalikan semangat persatuan dan kesatuan Nusantara. Mari kita kembali memaknai arti dari bertoleransi, serta mari kita terapkan etika dalam berkomunikasi dengan menyebarluaskan pesan dalam medsos, hendaknya tidak menimbulkan skandal dan tidak memuat kepalsuan. Mari memposisikan diri sebagai setitik air yang jernih di tengah keruhnya keadaan saat ini"
Namun semakin kesini, semakin sering persatuan
dan kesatuan kita dihantam oleh kebobrokan sikap anak bangsanya sendiri. Pemerintah
sibuk kesana-kemari demi mempertahankan kursi, sibuk menyelipkan cek-cek kotor
agar dapat kabur dari kasus hukum, sibuk membangun citra palsu dan berharap
disenangi para pencoblos pada pemilu, sementara rakyatnya bingung dan kian terjebak
dalam pemberdayaan yang semu belaka.
Disebut semu karena orang mengira berita itu sudah sangat produktif. Dengan bermedia sosial lewat Facebook, Twitter,
atau percakapan WhatsApp, padahal yang dikerjakan sekadar mengumpulkan,
meneruskan, dan mengomentari informasi kepada orang lain. Sehingga menyebabkan
atmosfer pembaca disesaki dengan warta berisi ejekan dan makian, bahkan
kebencian antar warga.
Apakah ini penyebab mengapa banyak orang yang
mengira Bhineka Tunggal Ika telah mati? Sayang sekali mereka salah. Bhineka
Tunggal Ika belum mati, dan tidak akan pernah mati. Mereka akan terus hidup di dalam diri orang-orang yang benar-benar
mencintai Indonesia dan yang terus berjuang untuk mempertahankan keutuhan
bangsa ini.
Republik ini sekarat, ya. Mati, jangan
biarkan. Kembalikan Bhineka Tunggal Ika. Kembalikan semangat persatuan dan
kesatuan Nusantara. Mari
kita kembali memaknai arti dari bertoleransi, serta mari kita terapkan etika
dalam berkomunikasi dengan menyebarluaskan pesan dalam medsos, hendaknya tidak
menimbulkan skandal dan tidak memuat kepalsuan. Mari memposisikan diri sebagai
setitik air yang jernih di tengah keruhnya keadaan saat ini.
Disisi lain, sebenarnya perlu adanya
sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi hal ini.
Seharusnya pemerintah bertindak dengan jalan penegakan hukum yang tegas terkait
hal-hal yang menyangkut pembohongan publik atau penyebaran berita-berita hoax seperti sekarang ini. Namun, bukan saatnya
kita bergantung kepada pemerintah, biarkan mereka yang mengaku bekerja untuk
rakyat itu sibuk dengan birokrasinya. Inilah saatnya kita bertanya kepada diri
sendiri apa yang bisa kita lakukan demi kerukunan bangsa, karena hanya dari
tangan kita sendirilah kita dapat mengembalikan makna dari kalimat Bhineka
Tunggal Ika.
Penulis adalah Mahasiswa Semester 6 Jurusan Tadris Matematika
di IAIN Tulungagung