Ada pepatah Jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino yang kurang lebih berarti suka karena terbiasa. Pepatah Jawa tersebut dapat kita jadikan hipotesa mengapa generasi muda Indonesia lebih mencintai budaya asing. Karena keseharian mereka terbiasa menonton dan mendengar budaya asing di media yang nonstop 24 jam disajikan konten budaya asing. Pun hal ini tidak diimbangi dengan pengajaran dan pengetahuan mengenai kebudayaan sendiri. Dukungan pemerintah dirasa kurang dalam upaya mengangkat budaya sendiri sebagai sebuah kekayaan yang harus dipertahankan. Pemerintah dalam hal ini sebagai pihak yang diberi kepercayaan warga negara, sebagai pihak yang harus mengurus negara ini sejatinya punya kemampuan luar biasa dalam membendung hegemoni budaya serta mengangkat kembali budaya bangsa.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan kita selama ini hanya disasarkan pada yang teknis dan kognitif, tanpa memerhatikan kearifan lokal setiap wilayahnya yang beragam. Dengan kata lain, terjadi pemaksaan pada sistem pendidikan. Semua elemen di dalamnya harus mematuhi apa yang sudah dirancang dan diinstruksikan pemerintah. Dari gambaran di atas ada sebuah pepatah Jawa yang patut menjadi cerminan bagi pemerintah saat ini: Deso mowo coro, negoro mowo toto yang bisa kita maknai, bahwa desa mempunyai adat sendiri dan  negara memiliki tatanan, aturan, atau hukum tertentu. Pemaksaan suatu nilai kearifan lokal terhadap masyarakat dan budaya lain, adalah bentuk tindakan aniaya dan merupakan perilaku melawan hukum alam. Sebuah pengkhianatan akan jati diri yang dilakukan oleh pemerintah bangsa kita sendiri. Miris memang melihatnya. Karena mereka yang mengaku wakil rakyat sering kali kesulitan melepaskan diri dari nafsu golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Bahkan seringkali nafsu itu diklaim atas nama Tuhan.

"Maka opsi yang dapat dilakukan pemerintah ialah menciptakan sebuah counter-culture atau budaya tandingan. Budaya lokal harus dapat menandingi atau setidaknya mengimbangi budaya asing."

  

Hal-hal terburuk dari keadaan di atas, sebenarnya dapat dihindarkan jika mulai dari sekarang generasi muda penerus bangsa tak hanya diajarkan pendidikan teknis dan kognitif, tapi juga dibarengi pendidikan moral dan nilai-nilai kearifan lokal. Maka opsi yang dapat dilakukan pemerintah ialah menciptakan sebuah counter-culture atau budaya tandingan. Budaya lokal harus dapat menandingi atau setidaknya mengimbangi budaya asing, tidak dengan secara tiba-tiba memaksakan semua orang harus menyukai budaya sendiri. Namun, alangkah baiknya bila langkah pengajaran budaya sendiri dimulai dari dasar. Salah satunya melalui pengajaran kesenian secara formal di sekolah-sekolah.
Dalam bahasa yang lebih jelas, mulai dari usia dini generasi muda harus ditanamkan nilai-nilai moral melalui seni di pendidikan dasar. Sehingga diharapkan generasi muda penerus bangsa ini memiliki kesiapan moral dan nurani untuk mengarungi kehidupannya masing-masing. Dan kedepannya tidak lagi terjadi kanibalisme antarwarga negara, seperti peperangan kepentingan politik yang saat ini terjadi. Di samping juga dapat mengurangi angka korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjangkiti negeri ini.
Nah, pertanyaannya sekarang, maukah kita sebagai warga negara memaksa pemerintah mengangkat budaya bangsa sendiri? Atau kita terlampau nyaman dengan homogenisasi budaya asing dalam hidup kita. Hingga membuat kita enggan hidup dengan mencintai budaya sendiri? Mari kita renungi!

Oleh: M. Rif'an Hidayat