Nusantara merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera hingga Papua, yang sebagian besar wilayahnya adalah bagian dari Negara Indonesia. Istilah ini tercatat pertama kali dalam literatur Jawa pertengahan (abad 12-16 masehi) untuk menggambarkan konsep kenegaraan Majapahit. Istilah Nusantara ini sempat terlupakan, hingga akhirnya dihidupkan kembali pada Abad Dua Puluh oleh Ki Hajar Dewantara. Kata Indonesia sendiri merupakan nama alternatif yang diberikan pemerintah Hindia-Belanda yang berarti “Kepulauan Hindia”. Meskipun istilah yang digunakan adalah Indonesia, istilah Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim dari Indonesia.

Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah Nusantara digunakan untuk menggambarkan kesatuan geografis-antropologis kepulauan yang berada di antara dua benua, Asia dan Australia. Dalam pengertian terakhir, Nusantara merupakan padanan bagi “Kepulauan Melayu” (Malay Archipelgo), istilah yang popular pada akhir abad 19 sampai awal abad 20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.

Di luar perbincangan istilah Nusantara, yang menjadi integritasnya adalah kuliner yang ada di kepulauan ini. Contoh konkretnya bisa kita lihat dari kuliner Indonesia, “Soto”. Bagaimana banyaknya varian dari kuliner satu ini dengan sentuhan culture di tiap-tiap daerahnya. Sebut saja Soto Lamongan, Soto Betawi, Soto Makasar, Soto Madura, dan Soto-Soto yang lain. Di samping Soto dengan fariant daerahnya, ada pula Bakso Malang, Bakso Solo dan sebagainya. Bukan hanya satu kuliner dengan variannya, tapi masih banyak lagi kuliner-kuliner lain di Nusantara yang berbeda tetapi memiliki kesatuan yang disebut “Kuliner Nusantara” yang bisa kita jumpai pada acara festival kuliner Nusantara.
"Keberagaman adalah keniscayaan dan kekayaan yang patut kita lestarikan sebagai modal mendulang kemajuan berbangsa dan bernegara."

Kuliner atau makanan memang menjadi faktor penting dalam penyatuan Nusantara, terlebih bagaimana penyebaran masyarakatnya hampir di seluruh Indonesia. Orang Sumatera bisa merantau ke Jawa, orang Jawa bisa merantau ke Papua, orang Kalimantan bisa merantau ke Bali, dan banyak lagi rantau-rantau yang yang membawa kenikmatan lidah daerahnya ke daerah yang lain. Dalam artian enaknya, perdagangan kuliner yang menyebar ke seluruh Indonesia ini menciptakan integritas/persatuan Nusantara dalam urusan “perut”.

Bila meminjam teori kebutuhan manusia ala Abraham Maslow, urusan perut ini menjadi dasar primordial untuk menuju kebutuhan yang lain. Persoalan perut ini kendati rawan menciptakan konflik, di sisi lain juga menyulut integritas ke-Bhineka-an yang Ika. Siapa orang yang tidak butuh makan? Makanan dengan taste yang sesuai dengan lidah orang banyak, menjadikan kuliner menjadi senasib dalam hal rasa. Bukan hanya soal rasa, lapar juga mempertemukan orang yang tidak kenal menjadi kenal ketika bertemu di warung atau rumah makan yang sama-sama mencari rasa kenyang.

Kalau Anda pernah jajan kuliner di pinggir jalan bisa dijumpai pedagang Batagor Bandung, Sate Madura, Gudeg Jogja, Empek-Empek Palembang, sampai Chiness Food berbaris berdampingan menjadi satu di sepanjang jalan, padahal daerah mereka tak sama. Berbeda-beda tapi satu tujuan, memuaskan perut-perut yang lapar. Lapar perutnya, lapar rasa persatuan yang dimainkan aktor-aktor politik dan pemodal yang menciptakan disintegritas lewat berita-berita perbedaan agama, suku, ras, dan etnik. 

Urusan perut yang sudah menyatu dirusak oleh perut-perut yang rakus, yang tidak cukup hanya makan kuliner Nusantara, bahkan alam, hutan, tanah, aspal, ternak, dan rakyat pun ikut dimakan. Diciptakan "penggorengan-penggorengan" untuk memasak isu-isu sensitif demi memuaskan nafsu pribadi dan golongan. Misalnya, isu paling seksi di negeri ini: agama. Celakanya, saat isu ini dimunculkan maka masyarakat kita seolah kehilangan akal sehat dan lupa tentang siapa bangsa kita. 

Beberapa bulan ini masyarakat Indonesia disibukkan dengan berita-berita intoleransi dan disintegritas yang muaranya tak lebih sekadar rebutan isi perut. Urusan bisnis perut yang semula ayem-tentrem mulai tercium kebusukannya oleh KPK ataupun media menjadikan publik mulai mempertanyakan kemapanan itu. Akhirnya mau tidak mau para elit politik atau penguasa perut bikin ulah, isu ini, isu itu, yang intinya menyebabkan perpecahan Nusantara yang sebelumnya oke-oke saja.

Untuk menjaga persatuan agar tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita hoax maka sebagai generasi muda kita wajib senantiasa meng-update pengetahuan entah dari buku-buku atau lainnya. Sebab generasi tanpa buku ibarat ruangan tanpa lampu. Gelap dan suram!

Oleh karena itu, mari mengaca dari keberagaman kuliner kita. Hal ini sebagai bukti bahwa keberagaman adalah keniscayaan dan kekayaan yang patut kita lestarikan sebagai modal mendulang kemajuan berbangsa dan bernegara.

Oleh: Erwin Ernanda