Menjadi bahagia, disadari atau tidak adalah tujuan semua manusia. Pada dasarnya motif yang menggerakkan manusia untuk melakukan apa pun adalah untuk mencapai kebahagiaan. Tujuan asasi manusia adalah mencapai kebahagiaan, namun pendefenisian kita tentang kebahagiaan sering berbeda. Sehingga tindakan kita untuk mencapai kebahagiaan tersebut berbeda-beda pula, bahkan kerap berkontradiksi antara satu orang dengan orang lain. Pendefinisian atau pemaknaan kita tentang apa itu kebahagiaan sangat menentukan tindakan kita untuk mencapainya.
Sebagian orang melekatkan kebahagiaan pada hal-hal yang bersifat materiil, sehingga pencapaian kebahagiaan dilakukan dengan berusaha memuaskan segenap hasratnya untuk mencerap kenikmatan materil. Sebaliknya ada yang berpandangan bahwa melekatkan kebahagiaan pada sesuatu yang bersifat materil adalah sebuah kesalahan besar, karena materi tak akan pernah memebrikan kebahagiaan hakiki pada manusia. Sebaliknya, upaya pemenuhan kepuasan materil secara berlebihan hanya akan membuat manusia semakin menjauh dari kebahagiaan.
Sebuah ilustrasi dari dua orang yang pernah menimba ilmu dari Socrates sang guru bijak dari Athena, yaitu Aristippus dan Anthitenes. Menurut Antithenes, kebahagiaan adalah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan materil, karena sejatinya kebahagiaan adalah bersifat metafisik. Sebaliknya Aristippus berpendapat bahwa kebahagiaan adalah bagaimana memuaskan hasrat jasmaniyah. Akhirnya Antithenes dikenal sebagai tokoh aliran asketisme yang menekankan pencapaian kebahagiaan dengan menjauh dari kesenangan-kesenangan materil, sebaliknya Aristippus kemudian dikenal sebagai tokoh aliran hedonisme yang menekankan kebahagiaan dengan pemenuhan kesenangan-kesenangan materil.
Kebahagiaan, merupakan salah satu tujuan penting dalam kehidupan yang dibahas dalam filsafat. Kebahagiaan menjadi penting karena terkait dengan sesuatu yang bersifat asasi pada setiap manusia, sehingga filsafat menjadi penting untuk membahasnya. Aristoteles sebagai salah seorang filosof terkemuka dalam sejarah filsafat juga memiliki perhatian khusus untuk tema yang satu ini. Aristoteles sangat menekankan pentingnya Moralitas untuk menemukan pertimbangan rasional sebagai dasar bertindak, sehingga orang dapat mencapai kebahagiaan yang bermakna.Bagi Aristoteles, filsafat menjelaskan bahwa hanya orang yang menguasai hawa nafsunya yang bisa bahagia. Kita tidak bisa langsung mengusahakan kebahagiaan. Yang harus kita usahakan adalah suatu tindakan yang kita ketahui akan mengantarkan kita pada kebahagiaan.
Menurut Aristoteles, orang yang mencapai kebahagiaan dengan mengejar kenikmatan-kenikmatan jasmaniyah seperti makan, minum, seks, sebagai “cara hidup binatang ternak”. Manusia bukanlah ternak, tak mungkin manusia mencapai kepuasan yang sebenarnya apabila ia memusatkan diripada hal-hal yang dimilikinya bersama dengan kambing. Maka, hidup mencari nikmat dalam arti nikmat inderawi semata-mata justru akan mengecewakan. Nikmat yang lebih bermutu dan lebih membahagiakan justru akan tertutup bagi kita, seperti nikmat yang kita rasakan dari pergaulan dengan para sahabat, nikmat penemuan kebenaran dalam studi, nikmat mengolah sawah yang menjanjikan kelimpahan panen, nikmat membuat karya seni, lebih-lebih nikmat karena tersentuh oleh kasih Tuhan.
Aristoteles menekankan bahwa yang kita lakukan ialah segala perbuatan yang bermakna, dan kenikmatan akan mengikuti dengan sendirinya. Aristoteles menegaskan bahwa bukan nikmat yang harus kita kejar melainkan kita harus mengejar perbuatan-perbuatan yang bermakna. Dengan mengejar perbuatan yang bermakna, nikmat akan mengikuti dengan sendirinya maka kita pundapat sungguh menikmati hidup. Contoh perbuatan yang bermakna adalah apabila seseorang bertindak berdasarkan keluhuran moralitasnya. Bagi Aristoteles, moralitas adalah salah satu gejala kemanusiaan yang paling penting. Moralitas dapat disebut keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya ia menjadi orang baik. Untuk itu, moralitas perlu diajarkan kepada setiap manusia lebih-lebih melalui pendidikan moral.
Berhasil atau gagalnya pendidikan moral tiap individu dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan.Pendidikan moral dikatakan berhasil apabila seseorang merasa bahagia melakukan perbuatan yang baik dan merasa malu jika berbuat buruk. Sedangkan pendidikan moral yang gagal adalah jika seseorang merasa bahagia melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan sulit untuk melakukan yang baik.Dalam pemikiran Aristoteles, kebahagiaan sejati mesti berasal dari batin yang telah dididik. Oleh karena itu pendidikan batin pun sebisa mungkin dimulai sejak dini. Pendidikan yang baik tidak membiarkan seseorang berkembang “sesuai seleranya sendiri”, tetapi perlu dibuka dimensi hati agar seseorang merasa bangga dan gembira apabila ia berbuat baik,sedih dan malu apabila melakukan sesuatu yang buruk. Melalui perasaan-perasaan itu seseorang, tanpa paksaan, belajar berbuat baik dengan gampang dan menolak dengan sendirinya yang jelek atau memalukan.
Setiap orang memiliki konsep kebahagiaan-nya masing-masing. Akan tetapi, permasalahannya, apakah setiap orang sempat memikirkan konsep kebahagiaan yang ia miliki secara lebih mendalam? Apakah konsep kebahagiaan yang ia pegang, sungguh-sungguh membawanya pada kebahagiaan sejati atau sebaliknya, kebahagiaan semu yang justru akan menjerumuskannya dalam kedangkalan dan ketidak bahagiaan.
Oleh: Miftah Farid Hamka