Kasus pemerkosaan berujung pembunuhan yang menimpa Yuyun gadis 14 tahun asal Desa Kasie Kasubun Kecamatan Padang Ulak Tanding Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu pada hari Sabtu 2 April 2016 merupakan suatu tamparan untuk pendidikan di Indonesia.
Pasalnya, para pelaku yang berjumlah 14 orang tersebut sebagian
besar masih dibawah umur dan masih duduk dibangku sekolah menengah pertama
(SMP). Kasus semacam ini tentu menjadi indikator belum efektifnya pendidikan
moral, norma asusila, dan nilai keagamaan yang ada di sekolah-sekolah di tengah
arus globalisasi yang serba cepat. Kehadiran internet yang membuat dunia makin
terbuka lebar tidak diimbangi dengan pembentengan moral para generasi muda.
Kasus Yuyun ini merupakan cerminan generasi Bangsa Indonesia yang saat ini mengalami krisis mental, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran dalam sikap dan moral dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia sudah lama menerapkan program Revolusi Mental, dengan harapan mengubah mentalitas generasi muda kearah yang lebih baik.
Kenyataannya, apakah program Revolusi Mental berhasil? Ironis sekali memang, disaat pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya menyuarakan Revolusi Mental, akan tetapi masyarakat khususnya generasi muda perilakunya masih banyak yang menyimpang.
Dalam hal ini sistem pendidikan menjadi sorotan
publik, mengingat para pelaku juga ada yang masih duduk di bangku sekolah,
dimana proses belajar dan pemahaman mengenai nilai-nilai moralitas ditanamkan
pada setiap peserta didiknya.
Seharusnya pemerintah dalam hal ini khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melihat lebih tajam terkait pendidikan moral dan nilai keagamaan yang ada di sekolah-sekolah. Karena kasus pemerkosaan dan pembunuhan seperti ini memang kadang bisa dipengaruhi spontanitas dan kesempatan yang ada di depan mata.
Namun satu hal yang pasti, moral dan kepribadianlah yang menjadi penentu. Sehingga
kepribadian harus dibangun dan dikembangkan secara sadar, hari demi hari dengan
melalui suatu proses yang tidak instan. Kepribadian bukanlah hal bawaan sejak
lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari, dan ini dapat dilakukan
salah satunya dengan mengenyam pendidikan formal.
Benar bahwa pendidikan berawal dari keluarga. Seorang anak di didik dengan cinta dan kasih sayang terhadap sesamanya, namun pendidikan formal juga punya andil menjadikan seorang anak menjadi beradab dan manusiawi. Sekolah menjadi tempat anak belajar tentang nilai hidup sosial, dan mempraktekkan bersama teman-temannya.
Tanpa ada usaha serius untuk mempersiapkan mereka menghadapi masa depannya, yang ada adalah generasi muda yang kering akan nilai moral dan norma agama. Masuknya nilai-nilai baru makin mengacaukan sistem nilai generasi muda.
Kekuatan moral generasi muda yang pada akhirnya dipertaruhkan. Karena
sudah jelas, bahwa para pelaku ini tidak memiliki nilai hidup yang baik. Jika
mereka tahu apa artinya kata ‘baik’ maka ia tahu perbuatan apa yang baik dan
yang tidak baik.
Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidikan harus dipandang sebagai suatu kebutuhan pokok, sama halnya dengan kebutuhan pangan sehari-hari. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa.
Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan bisa jadi seperti sekarang ini
apabila pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang?
yang ahli teknologi itu? Jepang sangat menghargai pendidikan, mereka rela
mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye
atau hal lain tentang kedudukan seperti yang Indonesia lakukan. Tak ubahnya
negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi negara tetangga kita.
Selanjutnya
mengenai cepatnya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia yang tidak dapat
dibendung. Globalisasi dapat dipahami sebagai reaksi dan elaborasi terhadap dua
gejala sosiologis yang sekarang terjadi, yaitu berkembangnya the world system
and modernization. Globalisasi akan melahirkan gejala budaya global yang
mencakup tingkat Internasional sehingga akan terjadi benturan peradaban yang
berdampak pada pergeseran nilai.
Faktor pendukung utama arus globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu, globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya. Akibat globalisasi tentunya membawa pengaruh terhadap suatu negara termasuk Indonesia, khususnya terhadap perkembangan moral bangsa Indonesia.
Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak generasi muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam cara berpakaian, selera makan. Yang lebih memprihatinkan adalah pergaulan bebas antar remaja.
Lihat saja, video dan gambar yang berbau pornografi sulit dibendung peredarannya dengan kehadiran internet berkecepatan 4G dan beragamnya media sosial. Harus diakui, arus nilai yang menyertai globalisasi itu tidak mudah disaring. Oleh sebab itu, kita harus benar-benar cermat, bijak, dan selektif di tengah gempuran globalisasi yang mengungkung kepribadian generasi muda kita.
Selain
menyaring nilai-nilai yang menyertai globalisasi, penanaman nilai-nilai moral
pada generasi muda perlu lebih digalakkan untuk membantu mereka dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang kini sudah dihadapi dan dialami.
Sudah saatnya Kemendikbud serius melakukan pengawalan dan pengawasan muatan nilai pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah untuk menyelamatkan generasi muda yang rentan dan mudah terpengaruh.
Dan pendidikan harus lebih ketat dalam mengawal perkembangan anak didiknya sehingga tidak terjerumus dalam hal-hal negatif seperti yang tidak diinginkan yang dapat merugikan masa depan diri dan bangsanya. Selain itu tidak boleh lepas bahwa peran keluarga dalam mengawasi perkembangan dan pergaulan anaknyapun juga tidak kalah penting dengan hal di atas.
PENULIS: M. Rif’an Hidayat