http://www.buletinaufklarung.com | Tulungagung - Puluhan mahasiswa yang bergelut dalam dunia intelektual dan literasi berbondong-bondong menghadiri KOBAM#2 (kongko bareng jumat malam).

Acara diskusi umum yang berlangsung di padepokan Pusat Kajian Filsafat dan Teologi(PKFT) Tulungagung, Jumat (23/11/18). Pada perdiskusian tahap kedua ini mengangkat tema “Budaya Popular (POP) dalam Dinamika Dakwah Islam”.

Nanda Royansyah, Direktu PKFT, Mengungkapkan tema ini sebenarnya merupakan wacana lama yang masih laku sampai hari ini. Faktanya, banyak dari kita hampir tidak sadar bahwa setiap hari telah mengkonsumsi budaya popular. Seakan-akan kesadaran kita telah terbius oleh budaya popular.

Ia menambahkan, bahwa, pengaruh modernitas terhadap  nilai-nilai budaya Islam dalam masyarakat menjadi tak terelakkan. Akulturasi tersebut  telah merubah budaya Islam  yang semula dipersepsikan sebagai budaya yang konservatif, konvensional, dan eksklusif menjadi lebih dinamis dan modernis.

Acara ini kebanyakan dihadiri oleh kalangan mahasiswa, dimulai pukul 19:00 WIB dan panitia menghadirkan Mas Didin Wahyudin, Dosen muda berbakat dari  IAIN Tulungagung sebagai pembicara.

Mas Didin mengungkapkan, budaya popular atau budaya massa diartikan sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan menghamburkan segala macam perbedaan.

Ia menambahkan, setidaknya ada 5 ciri dari kebudayaan popular, yaitu menciptakan tren yang disukai banyak orang dan diikuti, keseragaman bentuk, bersifat sementara, mengubah pola konsumsi masyarakat, dan menghasilkan kesenangan dan perhatian (fans/fandom).

Tuning point-nya adalah budaya popular muncul dalam berbagai bentuk dari yang kita konsumsi untuk kebutuhan tubuh kita, apa yang kita tonton, musik yang kita dengarkan, apa yang kita pakai hampir semua produk dari budaya popular.

Dalam kaitannya dengan dinamika dakwah islam,

“Ditengah kepungan budaya popular, apakah masih pure dakwah atau hanya bentuk kapitalisme baru?-tanya Mas Didin kepada forum. "

Mas didin menerangkan, bahwa ‘pendakwah’ di Indonesia terus bertambah. Bahkan dari kalangan yang tidak punya kapasitas pun bisa disulap menjadi penceramah islam. Mereka hanya mengandalkan popularitas agar bisa laku dipasaran. Tentu saja berdasarkan nilai naik-turunnya pasar. Semisal fenomena artis seleb atau ajang pencarian da’i.

“Jadi, saat ini yang terjadi adalah kapitalisasi agama yang dibungkus dengan kedok dakwah Islam. Dimana agama menjadi sebuah ‘komoditas’ yang menggiurkan.  Tanpa mengkreditkan para kyai dan ulama yang ikhlas berdakwah”.-Tandasnya."

Laporan: Anggakafi